mEt daTAng kawand...!!

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]


hiDupmu akan lebih inDah ketika kamu mamPu melihat seGala sesuaTu deNgan pEnuh syukUr...
Alhamdulillah...


Senin, 30 November 2009

Kata bijak "menulis"

  • Usahakan menulis setiap hari. Niscaya, kulit anda akan menjadi segar kembali akibat kandungan manfaat yang luar biasa”. [Fatimah Mernissi]
  • “Menulis merangsang pemikiran, jadi saat anda tidak bisa memikirkan sesuatu untuk di tulis, tetaplah mencoba untuk menulis”. [Barbara]
  • “Menulis adalah mencipta, dalam suatu penciptaan seseorang mengarahkan tidak hanya semua pengetahuan, daya, dan kemampuannya saja, tetapi ia sertakan seluruh jiwa dan nafas hidupnya.” [Stephen King]
  • “Ketika seorang penulis hanya menunggu, maka sebenarnya ia belum menjadi dirinya sendiri”. [Stephen King]
  • “Kita tidak harus menunggu datangnya inspirasi itu kita sendirilah yang menciptakannya”. [Stephen King]
  • “Membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh seorang penulis”. [Stephen King]
  • “Penulis yang baik, karena ia menjadi pembaca yang baik”. [Hernowo]
  • “Untuk menjadi penulis, yang dibutuhkan hanyalah kemauan keras untuk menulis dan kemudian mempraktekkannya, orang yang hanya mempunyai kemauan untuk menulis namun tidak pernah melakukannya maka ia sama saja dengan bermimpi untuk memiliki mobil, tanpa ada usaha dan kerja keras untuk memilikinya”. [Stephen King]
  • “Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri”. [J.K. Rowling]
  • “Syarat untuk menjadi penulis ada tig, yaitu: menulis, menulis, menulis”. [Kuntowijoyo]
  • Kawan, Hernowo itu baru meulai menulis pas udah usia 44 tahun lho!! tau tak. nah, sekarang ini kita semua tau bahwa beliau adalah salah satu orang yang produktif membuat buku dan tulisan. usia dikau berapa sekarang? jikalau lebih muda, bukankah itu satu hal yang memotivasi dikau?
  • “Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”. [Imam Al-Ghazali]

Puisi Hamka untuk NATSIR

Puisi Hamka untuk NATSIR     

Senin, 23 April 2007



Hussein Umar berpulang. "Kita kehilangan seorang pejuang yang
istiqamah," kata Prof. Didin Hafidhudin. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP]
Adian Husaini ke-191



[Pesan Terakhir Hussein Umar]



Oleh: Adian Husaini



Kamis, 19 April 2007, umat Islam Indonesia kehilangan seorang pejuang
Islam yang tangguh, Hussein Umar. Dia adalah ketua umum Dewan Da'wah
Islamiyah Indonesia. Sebuah SMS belasungkawa yang masuk ke HP saya
menyatakan, "singa podium" itu telah pergi meninggalkan kita." Ya,
memang julukan itu sangat tepat. Hussein Umar adalah seorang orator
ulung. Tapi, dia bukan 'dai artis', yang hanya bicara dakwah dan
perjuangan di atas panggung. Seluruh waktu, pikiran, dan hidupnya
dicurahkan untuk dakwah.



Bang Hussein - panggilan akrab Hussein Umar - memang pengagum para tokoh
Masyumi. Salah satunya, Prof. Kasman Singodimedjo, seorang yang jika
berpidato adalah laksana singa (Singo di Medjo). Hussein Umar sering
mengungkap cerita kegigihan dan keberanian Kasman. Ketika Kasman dalam
tahanan Orde Lama dan dipaksa untuk membuat pengakuan yang tidak
dilakukannya, Kasman justru menantang petugas itu untuk menembaknya.
Ketika dihadapkan padanya seorang perwira yang membuat cerita palsu
tentang dirinya, Kasman justru membentak perwira itu dan menyatakan,
"Taubat kamu!" Perwira itu pun gemetar dibentak Kasman dan mengaku dia
dipaksa untuk membuat cerita palsu.



Cerita lain seputar Kasman, salah satu tokoh idola Hussein Umar. Suatu
saat Kasman berkunjung ke daerah pedalaman. Ketika mobil harus
menyeberangi sungai di atas satu jembatan yang rapuh, pengantarnya
meminta Kasman turun dan membiarkan sopir itu membawa mobilnya sendiri.
Kasman marah dengan tindakan yang mau selamat sendiri itu dan membiarkan
orang kecil celaka. Dia meminta semua naik mobil bersama-sama, selamat
bersama, dan celaka pun harus bersama-sama. Tidak pandang orang
berpangkat atau orang biasa. Sampai-sampai Kasman membentak, "Syahadat
ulang kamu!"



Hussein Umar menceritakan semua kisah itu dalam berbagai kesempatan,
mengajak generasi berikutnya untuk meneladani kisah-kisah teladan para
pejuang terdahulu. Maka, ketika saya berkunjung ke rumahnya, Rabu
(18/4/2007) pagi - sekitar dua jam sebelum beliau di bawa ke rumah sakit
- Bang Hussein juga menceritakan berbagai kisah teladan para tokoh
Masyumi dalam dakwah. Salah satu yang saat itu ditekankan kepada saya
adalah puisi Hamka yang ditulis untuk Natsir, saat berlangsungnya Sidang
Konstituante tahun 1957.



Ketika itu, Bang Hussein bertanya kepada saya,"Sudah baca puisi Hamka
yang ditulis untuk Pak Natsir dalam sidang Konstituante?" Saya jawab,
"Belum!" Ia lalu berdiri, masuk ke dalam kamar dan mengambil sebuah buku
berjudul "Islam Sebagai Dasar Negara", karya Moh. Natsir, terbitan Dewan
Da'wah Islamiyah Indonesia. Bang Hussein memang kami kenal sebagai orang
yang rajin dan telaten dalam mengkoleksi data-data yang penting.



"Ini bacalah!," ujarnya menunjuk pada puisi Hamka yang tertera dalam
bagian depan buku "Islam sebagai Dasar Negara". Saya pun terpana membaca
puisi tersebut, kata demi kata, baris demi baris. Inilah puisi gubahan
Hamka yang diberi judul "Kepada Saudaraku M. Natsir". Puisi ini ditulis
Hamka di Ruang Sidang Konstituante pada 13 November 1957, setelah
mendengar pidato Moh. Natsir di Majlis Konstituante:





Meskipun bersilang keris di leher



Berkilat pedang di hadapan matamu



Namun yang benar kau sebut juga benar





Cita Muhammad biarlah lahir



Bongkar apinya sampai bertemu



Hidangkan di atas persada nusa





Jibril berdiri sebelah kananmu



Mikail berdiri sebelah kiri



Lindungan Ilahi memberimu tenaga





Suka dan duka kita hadapi



Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu



Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi





Ini berjuta kawan sepaham



Hidup dan mati bersama-sama



Untuk menuntut Ridha Ilahi



Dan aku pun masukkan



Dalam daftarmu .......!





Dalam kondisi tubuh yang lemah, tapi dengan suara yang bergetar, Bang
Hussein mengucapkan dua baris terakhir puisi Hamka: Dan aku pun
masukkan, dalam Daftarmu...!



Pidato Natsir dalam Sidang Konstituante tersebut memang luar biasa.
Sebagai seorang ulama dan sastrawan, Hamka pun terpana dengan pidato
Natsir itu, sampai menuliskan sebuah puisi khusus untuk Natsir. Ketika
itulah, Natsir mengupas tuntas kelemahan sekularisme, yang dia katakan
sebagai paham tanpa agama, atau la diiniyah. Sekularisme, kata Natsir,
adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap hanya
di dalam batas keduniaan. "Seorang sekularis tidak mengakui adanya wahyu
sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengatahuan. Ia menganggap
bahwa kepercayaan dan nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah ataupun
oleh bekas-bekas kehewanan manusia semata-mata dan dipusatkan kepada
kebahagiaan manusia dalam kehidupan sekarang ini belaka," ujar Natsir.



Natsir dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar
menjadikan Islam sebagai dasar negara RI. Kata Natsir, "Jika
dibandingkan dengan sekularisme yang sebaik-baiknya pun, maka adalah
agama masih lebih dalam dan lebih dapat diterima oleh akal.
Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat dan perseorangan yang dapat
diberikan oleh sekularisme, tidak melebihi konsep dari apa yang disebut
humanity (perikemanusiaan). Yang menjadi soal adalah pertanyaan, "Dimana
sumber perikemanusiaan itu?"



Tokoh-tokoh Masyumi - yang kemudian mendirikan Dewan Da'wah Islamiyah
Indonesia - adalah para pejuang Islam yang gigih dalam mengajukan
konsep-konsep Islam, secara ilmiah dan argumentatif. Tetapi, mereka juga
konsisten dalam memegang teguh aturan main secara konstitusional. Ketika
perjuangan melalui jalur partai politik terganjal, para tokoh Masyumi
pun menempuh jalur dakwah di masyarakat, masjid, pesantren, dan
perguruan tinggi. Istilah mereka, dakwah adalah laksana air yang
mengalir, tidak boleh berhenti, dan tidak bisa dibendung.



Rabu (18/4/2007) sekitar pukul 06.00 hari itu saya tidak bermaksud
menjumpai Bang Hussein Umar. Ketika itu, saya sedang meluncur menuju
satu tempat di Tanah Abang, Jakarta, menemui seorang teman dari Kuala
Lumpur. Tapi, entah kenapa, berulang kali HP-nya gagal saya hubungi.
Maka, di luar rencana semula, saya segera mengalihkan tujuan. Saya
menelepon Bang Hussein Umar - panggilan akrab Ketua Umum Dewan Da'wah
Islamiyah Indonesia (DDII). Sudah berbulan-bulan, sejak beliau menjalani
operasi jantung di Kuala Lumpur, saya tidak berbincang dengan Bang
Hussein. "Ya Adian, saya sudah kangen juga," ujarnya dari ujung telepon,
sangat hangat, menyambut telepon saya.



Ketika saya datang, Bang Hussein sudah siap menyambut. Disiapkannya dua
potong roti bakar untuk saya. Menyusul kemudian segelas minuman coklat
hangat. Tapi, ada yang tidak biasa dengan pertemuan-pertemuan
sebelumnya. Kondisinya terlihat lelah. Ia tampak sedikit menggigil.
Sebuah jaket hitam dikenakannya. "Saya merasa dingin sekali, tidak
seperti biasanya," ujarnya. Berulang kali ia harus keluar masuk,
mengeluarkan dahak batuknya. Akhirnya, diambilnya sebuah plastik untuk
menampung dahaknya. Namun, semua itu tidak mematahkan semangatnya untuk
terus berbincang tentang berbagai masalah dakwah dan kenegaraan.



Sosok Hussein Umar adalah sosok dai dan politisi Muslim yang melanjutkan
tradisi perjuangan para pendahulunya. "Beliau bukan manusia biasa. Kita
kehilangan seorang pejuang yang istiqamah. Kita semua menjadi saksi,"
kata Prof. Didin Hafidhudin, mengantar kepergian Bang Hussein. Semua
orang yang mengenal dekat Hussein Umar akan memiliki pendapat yang sama.
Dua puluh tahun lalu, ketika saya masih aktif di lembaga kemahasiswaan
Islam, Hussein Umar sudah saya kenal dengan materi khasnya,
"problematika umat". Hingga kini, apa yang diperjuangkannya pun tidak
bergesar. Hussein Umar tetap istiqamah dalam rel dakwah yang sama. Dia
tidak pindah rel dan pindah jalur. Meskipun aktif dalam belasan lembaga
dakwah, sosial, atau politik, Hussein Umar tetap membawa program
"tegakkan syariat Islam di bumi Indonesia!"



Selain mengingatkan perlunya istiqamah dalam dakwah, dalam perbincangan
Rabu pagi di rumahnya itu, Bang Hussein juga mengingatkan agar para
aktivis dakwah jangan sampai melupakan jasa-jasa para pejuang Islam
Indonesia masa lalu. "Karena jasa-jasa mereka, kita bisa menikmati
situasi di Indonesia saat ini," ujarnya. Ia pun berpesan, agar dalam
dakwah tidak muncul sikap tergesa-gesa ingin menikmati hasil. "Semua
perlu proses dan kesabaran. Jangan kita bisa dijebak lagi, karena ingin
cepat-cepat menuai hasil, lalu masuk dalam skenario yang justru akan
menghancurkan gerakan dakwah," nasehatnya.



Rabu pagi itu, saya sempat meminta Bang Hussein untuk bersedia ditulis
biografinya. Judulnya pun sudah kami sepakati, yaitu "Meluruskan
Sejarah". Beliau adalah seorang pelaku sejarah yang sangat penting untuk
kita gali pengalamannya. Salah satu keprihatinan yang sempat
diungkapkannya adalah adanya upaya pemutarbalikan sejarah G-30S/PKI yang
menghilangkan peran umat Islam. Setelah itu, di Dewan Da'wah pun saya
mengajak sejumlah teman untuk menulis birografinya.



Biasanya jika berkunjung ke rumah Bang Hussein, selepas shalat subuh,
kami berbincang selama berjam-jam. Beliau adalah guru yang sangat kaya
pengalaman dan memiliki ruh dakwah yang tidak pernah padam. Tapi,
melihat tubuhnya yang melemah dan menggigil dengan batuk yang tiada
henti, saya pun segera berpamitan. "Saya juga mau istirahat," ujarnya.
Maka, kami pun berpisah. Beliau mengantarkan saya sampai keluar pintu
pagar dan menutup pagarnya sendiri.



Rupanya, itulah perjumpaan saya terakhir dengan Bang Hussein. Menurut
cerita putranya, sekitar dua jam setelah saya meninggalkan rumahnya,
beliau harus dibawa ke rumah sakit, karena kondisinya memburuk. Padahal,
operasi jantungnya di Kuala Lumpur berlangsung lancar. Beliau pun sudah
mulai berkantor, seminar, khutbah, dan sebagainya. Tapi, Allah
menghendaki lain. Allah mengabulkan keinginan Bang Hussein untuk
menghadap-Nya dalam kondisi aktif dalam dakwah. Beliau tidak ingin
pensiun dari dakwah.



Dan keesokan harinya, Kamis (19/4/2007), selepas shalat subuh, sebuah
kabar duka saya terima, Bang Hussein telah tiada jam 04.00 pagi. Segera
saya meluncur ke rumahnya. Sesampai di rumahnya, saya lihat tubuh Bang
Hussein terbujur, dengan wajah yang sangat teduh dan tenang. Selamat
jalan Bang Hussein! Doa kami menyertaimu. Kami akan melanjutkan
perjuanganmu.



Seperti ujung puisi Hamka untuk Natsir: "Dankami pun masukkan; Dalam
Daftarmu!" Allahumma ighfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu. [Jakarta,
20 April 2007/ www.hidayatullah.com]

Ecsotis friend

Ecsotis friend
foto bareng sewaktu selesai ujian praktek agama tgl 28 April 2009